Wartabisnis.biz.id-Jakarta, Uang kuliah di universitas-universitas Amerika Serikat sulit dibuat gratis antara lain karena adanya filosofi dan kebijakan ekonomi pasar bebas. Hal itu dikatakan Sekjen SATUPENA, Satrio Arismunandar.
Satrio Arismunandar menangg api diskusi tentang UKT (uang kuliah tunggal) dan nasib pendi dikan kita. Diskusi daring di Jakarta, Kamis malam, 30 Mei 2024 itu diadakan oleh Perkum pulan Penulis Indonesia SATUPENA, yang diketuai penulis senior Denny JA.
Diskusi yang dikomentari Satrio Arismunandar itu menghadir kan nara sumber Prof. Widodo, Rektor Universitas Brawijaya Malang. Diskusi itu dipandu oleh Anick HT dan Amelia Fitriani.
Satrio menuturkan, ia mengam bil contoh tinggi pendidikan di AS sebagai perbandingan deng an Indonesia. “Seperti di Indonesia, di Amerika juga ada yang ingin kuliah di universitas dibikin gratis,” katanya.
Namun, kata Satrio, Pemerintah AS tidak memberikan subsidi penuh untuk pendidikan tinggi sehingga mahasiswa bisa kuliah secara gratis, karena beberapa alasan kompleks yang melibat kan aspek ekonomi, politik, dan sosial.
“Pertama, AS memiliki sejarah panjang dengan filosofi ekono mi pasar bebas, di mana ban yak sektor, termasuk pendidi kan, diharapkan untuk seba gian besar dikelola oleh pasar dan individu, bukan pemerin tah,” ujar mantan dosen FISIP UI ini.
“Kedua, ada pandangan bahwa peran pemerintah dalam eko nomi harus dibatasi dan bahwa pengeluaran publik yang besar –termasuk untuk pendidikan tinggi– dapat mengganggu efisiensi pasar,” lanjut Satrio.
Selain itu, ungkap Satrio, peme rintah federal dan negara bagi an memiliki anggaran terbatas yang harus dibagi untuk ber bagai kebutuhan publik lainnya seperti kesehatan, keamanan, infrastruktur, dan kesejahte raan sosial.
“Pendidikan tinggi sering kali bersaing berebut anggaran dengan kebutuhan lain, yang dianggap lebih mendesak oleh pemerintah atau konstituen,” jelas Satrio.
Yang tak boleh dilupakan, kata Satrio, kebijakan pendidikan tinggi di AS sering dipengaruhi oleh berbagai kepentingan. Termasuk lobi dari institusi pendidikan, sektor swasta, dan kelompok kepentingan lainnya, yang mungkin menentang sub sidi penuh karena berbagai alasan.
Juga, ujar Satrio, ada perbedaan pandangan yang signifikan di antara partai politik mengenai peran pemerintah dalam pendi dikan tinggi.
“Partai yang lebih konservatif biasanya menentang pengelua ran publik yang besar, terma suk subsidi pendidikan tinggi, sedangkan partai yang lebih liberal cenderung mendukung nya,” tutur Satrio.
Ditambahkan Satrio, meskipun ada banyak argumen yang men dukung subsidi penuh untuk pendidikan tinggi, pelaksanaan kebijakan ini di AS melibatkan pertimbangan yang kompleks dan berbagai hambatan yang perlu diatasi.
“Dialog dan upaya untuk mene mukan solusi yang seimbang saat ini terus berlanjut di tingkat federal dan negara bagian,” ujar Satrio.
