Wartabisnis.biz.id-Jakarta, Perempuan telah memainkan peran positif sebagai pendu kung dan arsitek perdamaian bagi konflik bersenjata di Aceh, namun peran mereka sering diabaikan. Bahkan, mereka dikecualikan dari aspek formal proses perdamaian. Hal itu dikatakan Sekjen SATUPENA, Satrio Arismunandar.
Satrio Arismunandar menang gapi tema diskusi pahlawan perempuan Aceh dari masa ke masa. Diskusi daring di Jakarta, Kamis malam, 28 November 2024 itu diadakan oleh Perkum pulan Penulis Indonesia SATUPENA, yang diketuai penulis senior Denny JA.
Diskusi yang dikomentari Satrio Arismunandar itu akan mengha dirkan narasumber Suraiya Kamaruzzaman, aktivis perem puan dan Co-Founder Flower Aceh. Diskusi itu akan dipandu oleh Mila Muzakkar dan Amelia Fitriani.
Satrio mengungkapkan, tahun 2005 menandai berakhirnya konflik bersenjata selama lebih dari 30 tahun di Aceh. Ada penandatanganan Memoran dum of Understanding (MoU) yang mengakhiri konflik berkelanjutan antara peme rintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
“Meskipun perempuan tidak secara resmi terlibat dalam negosiasi MoU, mereka telah berperan penting dalam memas tikan perdamaian yang berke lanjutan melalui upaya-upaya mereka di masyarakat,” tutur Satrio.
Namun, kata Satrio, perhatian yang diberikan pada peran perempuan dalam mencari solusi konflik di Aceh, upaya bertahan hidup mereka, atau keterlibatan mereka dalam pembangunan dan pemba ngunan perdamaian sangat minim.
“Bisa dipahami jika pada tahun 2000, Kongres Perempuan Seluruh Aceh yang pertama menyerukan partisipasi perem puan yang lebih besar dalam pengambilan keputusanpolitik,” ujar Satrio. Satrio menyebut Suraiya Kamaruzzaman sebagai salah satu aktivis hak asasi manusia dan tokoh perempuan Aceh, yang berperan penting dalam proses perdamaian di wilayah tersebut. Suraiya ber peran dalam advokasi dan pem berdayaan perempuan.
Satrio menjelaskan, Suraiya adalah co-founder Flower Aceh, sebuah organisasi non-profit yang berfokus pada pemberda yaan dan perlindungan hak-hak perempuan di Aceh, terutama selama dan setelah konflik. Ia juga aktif dalam advokasi hak-hak ekonomi dan reproduksi perempuan.
Pada tahun 2000, Suraiya menjadi Ketua Komite Penye lenggara Kongres Perempuan Aceh (Duek Pakat Inong Aceh), di mana ia terlibat dalam me rancang rencana dan memper juangkan hak-hak perempuan dan anak-anak.
“Suraiya telah menerima penghargaan perdamaian dari UNDP N-Peace Award pada 2012 atas upaya dan dedikasi nya dalam peningkatan kapa sitas dan advokasi pemenuhan hak perempuan di Aceh,” kata Satrio.
Suraiya, ucap Satrio, juga terlibat dalam advokasi hak-hak ekonomi dan reproduksi perempuan, serta memberikan analisis gender terhadap ranca ngan undang-undang di Indone sia yang relevan dengan reso lusi 1325 Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Menurut Satrio, penghargaan UNDP ini mencerminkan pengaruh positif dan peran penting Suraiya dalam mem perjuangkan perdamaian dan pemberdayaan perempuan di Aceh.